Minggu, 27 Desember 2015

BERIMAN KEPADA TAKDIR

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Ilmu Tauhid
Yang dibina oleh Bapak Mohammad Farah Ubaidillah, S. Th. I, M. Hum



Oleh
Moh. Ilham maulidy
18201501010108







   



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat  hidayah serta ridhanya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “TAREKAT DI INDONESIA” ini dengan baik. Makalah ini dapat terselesaikan tiada lain karena atas pertolongan Allah SWT. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendorong serta terlibat dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari  itu, kami membutuhkan kritik serta saran kepada pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua Amin. Dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin Ya Rabbal Alamin.



















DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .......................................................................................  i
KATA PENGANTAR .......................................................................................  ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................  1
1.1    Latar Belakang ..................................................................................  1
1.2    Rumusan Masalah .............................................................................  1
1.3    Tujuan Masalah ................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................  2
2.1 Pengertian Beriman Kepada Takdir ...............................................  2
2.2 Aliran-aliran yang Timbul Berkenaan dengan Takdir .................. 3
2.3 Pengaruh Beriman Kepada Takdir .................................................. 6
2.4 Tingkatan Beriman Kepada Takdir ................................................. 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 12
    3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 12
3.2 Saran .................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................  iv

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Beriman kepada Qadha dan Qadar, merupakan Rukun Iman yang ke 6 atau yang terahir. Kepercayaan kepada Qadha dan Qadar Allah secara ringkasnya menyatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini, termasuk juga yang terjadi pada diri manusia, baik dan buruk, suka dan duka, dan segala gerak-gerik hidup ini, tidaklah terlepas dari takdir atau ketentuan ilahi. Dalam hal ini ada beberapa Aliran yang berpendapat mengenai Qadha dan Qadar ini. Di antaranya adalah Aliran Jabbariyah, Aliran Qadariyah, Aliran Mu’tazilah, dan Aliran Ahli Sunnah. Orang yang ingkar kepada Qadha dan Qadar ini adalah kafir dan memiliki pengaruh tersendiri. Upaya untuk meningkatkan keimanan kepada Takdir ini tergantung dari tingkatan yang berbeda-beda.

3.2 Saran
   Keimanan seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar kita senantiasa meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT agar hidup kita senantiasa berhasil menurut pandangan Allah SWT. Juga keyakinan kita terhadap takdir Allah senantiasa ditingkatkan demi meningkatkan amal ibadah kita. Serta Kita harus senantiasa bersabar, berikhtiar dan bertawakal dalam menghadapi takdir Allah.









DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdul Aziz bin. 1424 H. Tauhid Untuk Tingkat Pemula dan Lanjutan. Saudi Arabia. Direktorat Percetakan Dan Penerbitan Departemen Agama.
Rahman, Taufik. 2013. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung. CV Pustaka Setia.
Tatapangarsa, Humaidi. 1982. Kuliah Akidah Lengkap. Surabaya. PT BINA ILMU.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Beriman kepada qada dan qadar merupakan salah satu diantara rukun iman yang harus diyakini oleh setiap muslim. Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus di imani sebagaimana dikenal dalam rukun iman. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi. Kesadaran manusia untuk merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya.
Untuk memahami konsep takdir, jadi umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan. Banyak manfaat mempelajari iman kepada qada dan qadar adalah memperkuat iman dan meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Bukan sebaliknya, mempelajari iman kepada qada dan qadar malah membuat seseorang menjadi putus asa dan patah semangat. Setiap manusia tidak ada yang mengetahui qada dan qadar Allah yang akan terjadi pada masing-masing individu, oleh karena itulah kita sebagai muslim wajib mempelajari iman kepada qada dan qadar .

1.2    Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian beriman kepada takdir?
b.    Aliran apa saja yang timbul berkenaan dengan takdir?
c.    Apa pengaruh beriman kepada takdir?
d.    Bagaimana tingkatan beriman kepada takdir?

1.3    Tujuan Masalah
a.    Untuk mengetahui pengertian beriman kepada takdir.
b.    Untuk mengetahui Aliran-aliran yang timbul untuk berkenaan dengan takdir.
c.    Untuk mengetahui  pengaruh beriman kepada takdir.
d.    Untuk mengetahui tingkatan-tingkatan beriman kepada takdir.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian  Beriman Kepada Takdir
Yang dimaksud dengan istilah takdir menurut  Yunahar (1993: 182), adalah qadar (al-qadar khairuhu wasyarruhu) atau qadha’ dan qadar (al-qada’ walqadar).
Secara etimologis, qadha’ adalah bentuk mashdar dari kata kerja qadha yang berarti kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini, qadha’ adalah kehendak atau ketetapan hukum Allah SWT. terhadap segala sesuatu.
Adapun qadar secara etimologis adalah bentuk mashdar dari qadara yang berarti ukuran atau ketentuan. Dalam hal ini, qadar adalah ukuran atau ketentuan Allah SWT. Terhadap segala sesuatu.
Secara terminologis, diantara ulama, ada yang berpendapat bahwa kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama, dan ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakannya, mendefinisikan qadar sebagai, “Ilmu Allah SWT. tentang sesuatu yang akan terjadi pada seluruh mkhluk-Nya pada masa yang akan datang.” Dan qadha’ adalah, “Pencipta segala sesuatu oleh Allah SWT. sesuai dengan ilmu dan ridha-Nya. Ulama yang menganggap istilah qadha’ dan qadar mempunyai pengertian yang sama memberikan definisi sebagai berikut. “segala ketentuan, undang-undang, perturan dan hukum yang ditetapkan secara pasti oleh Allah SWT. untuk segala yang ada (maujud), yang mengikat antara sebab dan akibat segala sesuatu yang terjadi.”
Pengertian diatas sejalan dengan penggunaan kata “qadar” didalam Al-Quran dengan berbagai bentuknya yang pada umumnya mengandung pengertian kekuasaan Allah SWT. untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-unang terhadap segala sesuatu; termasuk hukum sebab dan akibat yang berlaku bagi segala yang maujud, baik makhluk hidup maupun makhluk mati. Allah berfirman dalam beberapa ayat seagai berikut:

.... وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَه بِمِقْدَارٍ . { الرعد :  8}
Artinya: ”..... Dan segala sesuatu ada ukurannya disisinya.” (Q.S Ar-RA’d [13]: 8).

2.2 Aliran-Aliran yang Timbul Berkenaan Dengan Takdir
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat secara lahir dapat di pahami dengan pemahaman yang saling berlawanan. Di satu pihak ayat-ayat yang menunjukan bahwa segala sesuatu dikuasai oleh takdir, di pihak lain ada pula ayat-ayat yang memberi kesan bahwa semua itu di tentukan oleh usaha manusia sendiri. Dibawah ini akan dibahas tentang pendapat dari beberapa Aliran.

2.2.1 Aliran Jabbariyah
Aliran Jabbariyah berpendapat, bahwa manusia ini tidak punya kekuasaan apa-apa, sebab segala-galanya tentang dirinya dikuasai secara mutlak oleh takdir Tuhan. Amal ikhtiar manusia tidak mempunyai peranan sama sekali. Orang yang menjadi jahat, adalah krena ditakdirkan jahat oleh Tuhan, bukan karena tingkah laku orang itu sendiri. Demikian pula kaya, miskin, hina, pandai, bodoh, dan lain sebagainya. Semuanya semata-mata ketentuan Tuhan semesta Alam.
Manusia ini tidak mempunyai gerak sendiri. Kalau dikatakan manusia dapat berbuat, hanyalah itu dalam lahirnya saja, sebagaimana kalau diktakan batu dapat jatuh, motor dapat berjalan, dan lain sebagainya. Karena itu manusia di dunia ini hanyalah bagaikan kapas yang di terbangkan oleh angin. Mereka beralasan, bahwa jika benar manusia dapat berbuat, berarti ia menjadi sekutu bagi Tuhan, atau sekurang-kurangnya dapat mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak Tuhan dan ini mustahil. Dalil Al-Quran yang mereka gunakan antar lain
Q.S. Az-Zumar ayat 62    :     الله حَالِقُ كُلِّ شييءٍ     “Tuhan itu pencipta segala sesuatu”.
Aliran Jabbariyah disebut juga aliran Jamhiyah, berhubung tokoh utamanya bernama Jahm bin Shafwan.
2.2.2 Aliran Qadariyah
Faham Aliran Qadariyah adalah kebalikan dar faham Aliran Jabbariyah. Menurut Aliran ini, nasib manusia sepenuhnya ditangan manusia sendiri. Bukan ditangan takdir. Karna itu buruk atau baik nasib manusia, tidak boleh pertanggung jawabnya dilemparkan kepada Tuhan. Siapa yang ingin pandai harus belajar. Siapa yang ingin menjadi orang baik harus bisa mengendalikan hawa nafsunya. Siapa yang ingin kaya bekerjalah yang giat. Dan begitu seterusnya.
Jadi, aliran ini walaupun namanya sendiri “Qadar”iyah berpaham menolak adanya qadar/takdir Tuhan dalam hubungannya dengan perbuatan manusia. Mereka antara lain beralasan dengan Al-Quran Surat Ar-Ra’d ayat 11 :
اِنَّ اللهَ لا يُغَيِّرُ ما بِقَوْمٍ حَتّى يُغَيِّرُوْا ما بِأَنْفُسِهِمْ {االرّعد : 11}
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri ”.

2.2.3 Aliran Mu’tazilah
Boleh dikatakan pada prinsipnya Aliran Mu’tazilah berpaham sama dengan Aliran Qadariyah. Hanya saja Kaum Mu’tazilah berpikir lebih lanjut dan lebih mendetail lagi. Menurut Kaum Mu’tazilah, perbuatan manusia itu dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:
a.    Perbuatam yang timbul dengan sendirinya, seperti gerakan reflex, dan lain sebagainya. Perbuatan ini jelas bukan diadakan oleh manusia atau bukan terjadi karena kehendak manusia.
b.    Perbuatan bebas, dimana manusia dapat melakukan pilihan dimana mengerjakan dan tidak mengerjakan. Perbuatan semacam ini lebih pantas dikatakan diciptakan manusia dari pada dikatakan diciptakan oleh Tuhan.
Mereka beralasan bahwa kalau semua perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Aliran Jabbariyah, maka apa yang perlunya ada taklif (perintah) pada manusia? Selain itu pahala dan siksa tidak akan ada artinya lagi. Sebab manusia tidak dapat berbut baik atau buruk berdasarkan kehendaknya sendiri. Dalil-dalil dari ayat-ayat Al-Quran yang dikemukakan oleh Aliran Mu’tazilah sama dengan dalil-dalil yang dipakai oleh Aliran Qadariyah.
2.2.4 Aliran Ahli Sunnah
Aliran Ahli Sunnah bermaksud mencari jalan tengah antara dua Aliran yang saling berlawanan, yaitu Jabbariyah dan Qadariyah/Mu’tazilah.
Seperti juga Kaum Mu’tazilah, Aliran Ahli Sunnah juga membagi perbuatan manusia ke dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Khusus tentang perbuatan macam kedua, manusia meras sanggup mengerjakannya. Ini menjadi bukti bahwa manusia mempunyai kekuasaan yang dapat di pergunakannya. Kekuasaan ini di dahului oleh kehendak (kemauan/iradah). Dan dengan kekuasaan itu manusia mendapatkan perbuatan yang disebut Kasb.
Pengertian lebih lanjut tentang Kasb ialah: berbarengnya kekuasaan manusia demgam kekuasaan Tuhan. Artinya apabla seseorang hendak melakukan suatu perbuatan, maka pada saat itu juga (jadi berbarengan) Tuhan menciptakan kekuasaan manusia untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan kekuasaan inilah manusia mendapatkan kekuasaannya. (bedanya dengan Mu’tazilah, kalau Mu’tazilah berkata perbuatan itu).
Jadi menurut Ahli Sunnah, manusia memang mempunyai kekuasaan . akan tetapi sebenarnya kekuasaan itu tidak lain hanyalah alt kekuasaan Tuhan yang digunakan untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendaki manusia. Ini artinya, bahwa perbutan manusia pada hakekatnya juga diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh manusia itu sendiri. Karena itu pada akhirnya paham Aliran Ahli Sunnah dalam soal Qodlo dan Qadar sebenarnya juga termasuk Aliran Jabbariyah, bukan lagi sebagai aliran tengah antara Jabbariyah dan Qadariyah/mu’tazilah. Dalil-dalil yang digunakan, sama dengan dalil yang digunakan oleh Aliran Jabbariyah. Antara lain Al-Qur’an Surat Fathir ayat 3 :

هَلْ مِنْ خَا لِقٍ غَيْرُاللهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَسَّمَآءِ وَلأَرْضِ {فا طر : 3}

“Adakah yang dapat menciptakan selain Tuhan dan memberikan rizki kepada kamu, dari langit dan bumi?”
Aliran Ahli Sunnah disebut juga Aliran Asy’ariyah, berhubung tokoh utamanya bernama Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Selain itu Aliran Ahli Sunnah disebut juga dengan nama yang lebih lengkap, yaitu Ahli Sunnah Wal Jama’ah. “Sunnah” berati jalan, caram thariqoh. Yang dimaksudkan ialah jalan atau cara yang ditempuh oleh para sahabat dan tabi’in. Atau boleh juga “sunnah’ itu di artikan dengan: Hadits Nabi Muhammad SAW. Sedang “Jema’ah” berarti: golongan mayotitas Kaum muslimin. Tetapi tidak termasuk dalam pengertian ini seperti golongan-golongan lain seperti Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah. Demikian menurut anggapan mereka.

2.3 Pengaruh Beriman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir adalah suatu kewajiban dan salah satu rukun iman, dimana mengingkarinya adalah kafir, ini memiliki beberapa pengaruh nyata dalam kehidupan manusia. Di antara pengaruh tersebut adalah:
a.    Takdir merupakan salah satu sebab yang membuat seseorang bersemngat dalam dan berusaha untuk mencapai keridhaan Allah dalam hidup ini. Beriman kepada takdir adalah diantara pendorong kuat kepada setiap mukmin untuk beramal dan melakukan perkara-perkara yang besar dengan penuh keteguhan dan keyakinan.
Setiap mukmin wajib berikhtiar dengan bertawakkal kepada Allah SWT serta dengan keimanan bahwa ikhtiar itu tidak akan membuahkan hasil kecuali dengan izi Allah. Sebab Allah Lah yang menciptakan ikhtiar itu, dan dia pula yang menciptakan keberhasilan. Nabi Muhammad SAW bersabda:

{ المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْ مِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِي كُلِّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَسْتَعِنْ بِا لله وَ لاَ تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَا بَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ لَكَا نَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَا للهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَيْطَا نَ }

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih di cintai  Allah dari pada orang mukmin yang lemah, dan pada masing-masing ada kebaikannya. Berusahalah meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah SWT. Dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa sesuatu maka hjangan engakau mengatakan, ‘seandainya bila aku melakukan (ini dan itu) tentu akan terjadi begini dan begitu,’ tetapi katakanlah, ‘Allah telah mentakdirkan dan apa yang di kehendakinya pasti terjadi,’ Karena (ucapan) ‘seandainya’ itu membuka perbuatan setan.” (H.R Muslim).
Karena itu, ketika umat islam ingin mengubah kenyataan yang ada dengan jihad maka mereka berikhtiar dengan segala bentuk ikhtiar jihad, lalu mereka bertawakkal kepada Allah. Mereka tidak mengatakan, bahwa Allah telah mentakdirkan menolong orang-orang mukmin dan  menghancurkan orang-orang kafir, lalu mencukupkan yang demikian tanpa persiapan, jihad, kesabaran dan masuk ke medan perang. Tetapi sebaliknya, mereka melakukan berbagai hal di atas, sehingga Allah menolong mereka dan memuliakan mereka dengan islam.
b.    Diantara pengaruh beriman kepada takdir yaitu manusia bisa mengetahui kemampuan dirinya, sehingga ia tidak sombong, bangga atau tinggi hati. Sebab dia tidak mampu mengetahui apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Dari sini manusia mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada Tuhannya senantiasa.
c.    Sesungguhnya jika manusia mendapatkan kebaikan maka ia akan sombong dan lupa diri, tetapi jika di timpa keburukan dan musibah maka ia akan galau dan sedih. Tidak seorang manusiapun yang bisa menjaga diri dari kesombongan dan melampaui batas jika mendapatkan kebaikan serta kesedihan jika ditimpa keburukan kecuali dengan beriman kepada takdir, dan bahwa apa yang terjadi itu telah ditentukan takdirnya dan telah diketahui sebelumnya oleh Alllah SWT. Salah seorang salaf berkata. “barang siapa tidak beriman kepada takdir, niscaya hidupnya terasa berat”.
d.    Beriman kepada takdir bisa menghilangkan berbagai penyakitsosial yang menimpa masyarakat dan menghilangkan kedengkian diantara mukmin tidak mungkin iri dan dengki terhadap karunia yang diberikn Allah kepada manusia. Sebab Allahlah yang memberi mereka rezeki dan mentakdirkannya untuk mereka, sebab dia mengetahui, jika ia iri kepada orang lain berarti ia menentang takdir Allah SWT.
e.    Sesungguhnya beriman kepaa takdir bisa menumbuhkan keberanian hati untuk menghadapi berbgai tantangan serta menguatkan keinginan didalamnya. Akrena itu, ia akan tetap teguh di medan jihad dan tidak takut mati, sebab hatinya telah yakin bahwa ajal itu telah ditentukan, sehingga tidak mungkin ia mendahului atau terlambat, meski hanya sekejap.
Jika kepercayaan tersebut telah menghujam kuat dalam hati orang-orang mukmin maka mereka akan teguh dalam peperangan serta terus ingin melanjutkan jihad. Beberapa kancah jihad memberikan contoh-contohyang sangat indah dalam hal keteguhan dan ketegaran dalam menghadapi para musuh, betapapun kekuatan dan besarnya jumlah pasukan mereka, sebab mereka yakin tidaklah ada sesuatu yang menimpa mereka kecuali ia telah dituliskan untuknya.
f.    Beriman kepada takdir akan Menanamkan berbagai hakikat iman dalam jiwa setiap mukmin. Ia seanantiasa memohon pertolongan kepada Allah, bersandar kepada Allah dan bertawakkal kepadaNya dengan tetap berikhtiar. Ia selalu membutuhkan kepad Tuhannya, meminta pertolongan untuk di teguhkan. Dan ia pun bersikap dermawan sehingga mencintai kebaikan untuk orang lain, sehingga engkau senang mengasihi manusia dan memberikan kebaikan kepada mereka.
g.    Termasuk pengaruh beriman kepada takdir yaitu bahwasanya orang yang berdakwah kepada Allah akan berdakwah secara terang-terangan dan jelas dihadapan orang-orang kafir dan zhalim, ia tidak takut karena Allah terhadap cercaan orang yang mencerca, ia akan menjelaskan kepada manusia hakikat iman dan menerangkan berbagai konsekuensinya, sebagaimana ia juga akan menjelaskan kepada mereka berbagai fenomena kekufuran dan nifaq serta memperingatkan mereka dari padanya. Demikian pula ia akan menyikap kebatilan dan kebohongan, mengatakan kalimatul haq (perkataan yang benar) dihadapan orang-orang yang zhalim. Setiap mukmin melakukan hal-hal tesebut dengan kedalaman iman, keteguhan kepercayaan kepada Allah, bertawakkal kepadaNya, sabar atas apa yang menimpanya dalam perjalanannya, sebab ia yakin bahwa ajal ada di tangan Allah semata, dan bahwa rizki hanyalah milikNya dan dari sisiNya, dan bahwa setiap hamba tidaklah memiliki sesuatupun dari padanya, meskipun memiliki kekuatan dan para penolong.

2.4 Tingkatan Beriman Kepada Takdir
Beriman kepada takdir mencakup empat perkara yaitu:
a.    Beriman bahwasanya allah mengetahuisegala sesuatu baik secara global maupun rinci,dan bahwa allah subhanahu wata’ala telah mengetahuisegenap makhlukNya sebelum ia menciptakannya,dan ia mengetahui rizki-rizki mereka,segenap gerakan dan diam mereka,apa yang dia rahasiakan dan yang mereka tampakkan,juga mengetahui siapa diantara mereka yang termasuk Surga dan termasuk penghuni Neraka. Allah berfirman:
{ هُوَ اللهُ الذِى لآَ إِ له إلّا هُوَ علِمٌ الغَيْبِ وَالشَّهدةِ } [ سورة الحشر : الآية 22 ]
“Dialah Allah yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata.” (Al-Hasyr : 22).
b.    Beriman terhadap ditulisnya Qadar (takdir) tersebut. Yakni bahwa sanya Allah telah menulis segala yang ia ketahui ilmuNya sebelumnya dan bahwa semua itu tertulis di Lauhul Mahfuzh.  Allah SWT berfirman:
مَآ أَصَابَ من مُّصِيبَةٍ فِى الأ ضِ وَلا فى أنفُسِكُمْ إلَّا فى كتبٍ مِّن قَبْلِ أن نَبْرَ أهآ {سورة الحديد : الآية 22}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya.” (Al-Hadid : 22).
c.    Beriman kepada kehendak Allah yang tidak sesuatupun dapat menolaknya, juga beriman kepada kekuasaan Allah yang tidak dapat di lemahkan oleh sesuatupun. Karena itu, semua kejadian terjadi karena kehendak dan kekuasaan Allah. Apa yang dikehendakinya tidak akan terjadi. Allah SWT berfirman:
وَيَفْعَلُ اللهُ ما يشاء { سورة إبراهيم : الآية 27 }
“Dan Allah berbuat apa yang dikehendakiNya.” (Ibrahim : 27).
d.    Beriman bahwasanya Allah adalah yang menciptakan segala sesuatu, dialah satu-satuNya pencipta, Dan setiap yang selainNya adalah makhluk dan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Allah SWT berfirman:
قُلِ اللهُ خلقُ كلِّ شيْءٍ {  سورة الرعد : }
“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”(Ar-Ra’d : 16).
Yang wajib kita ketahui adalah bahwa ukuran-uuran (taqdir) itu adalah kekuasaan Allah, dan bahwa semua berjalan sesuai dengan taqdir dan kehendakNya, segenap hamba tidak memiliki kehendak kecuali apa yang dikehendakinya untuk mereka, apa yang dikehendakiNya untu mereka pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak aan terjadi. Sebagaimana kita wajib mengetahui bahwa taqdir pada dasarnya adalah rahasia Allah terhadap mahlukNya, tidak seorang malaikat terdekatpun yang dapat mengetahuinya, juga tidak seorang nabi yang diutus.
Seorang mukmin senantiasa menyifati tuhannya dengan sifat-sifat kesempurnaan. Karena itu engkau melihat sesorang sebagi mukmin pabia ia percaya setiap perbuatan tidak akan terjadi kecuali ada hikmah (yang terkandung didalamnya), dan jka ia tidak mengetahui hikmah ilahiyah dalam suatu perkara maka itu menunjukan kebodohannya dihadapan ilmu Allah yang ilmuNya segala sesuatu. Seorang mukmin juga tidak akan menentang yang maha bijaksana dan maha mengetahui, dimana Dia tidak di tanya tentang apa yang dilakukannya, namun merekalah yang di tanya.